Catatan Kaki

Hari – hari ini saya semakin yakin bahwa pemikiran kritis itu harus tetap dijaga sehingga kita tidak mudah terjebak untuk menghakimi atau mengamini hal – hal yang tertulis pada berbagai media, termasuk buku – buku sejarah.

Berbagai peristiwa, baik masa kini maupun masa lampau, tentu tidak dapat dilihat dari satu sudut pandang saja. Mulai dari peristiwa 98, 78, 65, bahkan kemerdekaan Indonesia itu sendiri hingga jauh ditarik ke belakang sampai negeri bernama Indonesia belum terbentuk.

Agaknya, pernyataan yang pernah dikemukakan Churcill ternyata benar. Sejarah memang ditulis oleh para pemenang.

Wacana yang kita kenal saat ini adalah wacana yang dikonstruksikan dari sudut pandang para pemenang.

Diberi kesempatan berkelana untuk menjelajah Indonesia, membuat diri ini semakin sadar bahwa banyak sekali kisah-kisah yang tidak tertulis dalam buku pelajaran sejarah.

Agaknya sejarah Indonesia terlalu dibentuk atas glorifikasi Jawa dan kisah-kisah hegemoni Majapahit, padahal Indonesia jelas bukan cuma Jawa. Pemahaman saya mengenai budaya Indonesia pun menjadi bias. Apa sebetulnya yang dimaksud dengan budaya Indonesia? Apakah budaya Indonesia dapat direpresentasikan hanya dari gambaran para perempuan yang memakai kemben dan rambut digelung?

Ketika tinggal di Fakfak, Papua Barat 7 tahun silam, diri ini sempat dibungkam oleh pertanyaan sederhana seorang anak murid ketika pelajaran IPS sedang berlangsung “…baru Ibu, kerajaan Tarumanegara, Majapahit, itu kerajaan di Jawa kah? Sriwijaya di Sumatera? kalau kerajaan di Papua kenapa tidak ada di buku?”.

Kebetulan, saat itu saya tinggal dengan kepala desa yang sekaligus pemangku adat. Bapak Patiran yang saya hormati, yang seorang kapitan itu, bertutur bahwa pada masanya, di Papua Barat pernah ada 9 kerajaan yang terbentang dari Raja Ampat hingga Kaimana. Sembilan kerajaan ini mendapat pengaruh kuat dari Kerajaan Tidore sehingga corak agama yang terdapat di pesisir Papua Barat adalah Islam hingga saat ini, bersamaan dengan Kristen dan Katolik yang lebih banyak mewarnai daerah pegunungan.

Bagaimana cara berbusana masyarakatnya, dalam hal ini para wanitanya? Saat hari jadi kota Fakfak, saya sempat mendokumentasikannya.

2018-04-11 13.30.55

Jelas ya, blus dengan bawahan kain yang menutupi lutut, ditambah ornamen khas yang terdiri dari bulu cenderawasih dan noken (tas dari akar tanaman) yang disampirkan di kepala.

Bergeser ke Sulawesi, kemarin saya berkesempatan menghadiri pernikahan seorang teman di Pare-pare. Pengantin wanitanya yang saya tebak merupakan keturunan bangsa Semit mengenakan busana adat yang mengingatkan saya dengan pakaian Koto Gadang dari Sumatera Barat.

Setelah berpamitan dari acara pernikahan, di perjalanan pulang saya terkagum-kagum dengan pemandangan alam berupa perbukitan karst yang membentang sepanjang Pangkajene Kepulauan (Pangkep), lebih terkejut lagi saat melewati pusat kotanya. Kota kecil ini menujukkan geliat ekonomi yang cukup signifikan, membuat saya berpikir akan asal muasal daerah ini, selain berpikir bahwa keberadaan Semen Tonasa-lah yang mungkin paling signifikan memberikan kontribusi bagi perekonomian daerah.

Berseluncur di dunia maya, terdapat berbagai artikel yang menyatakan bahwa dahulu kala, pernah terdapat kerajaan besar bernama Kerajaan Siang yang kejayaan dan kekuatannya melebihi kerajaan Gowa-Tallo. Sumber daya dan kekayaan alamnya membuat penguasanya yakin hingga menawarkan untuk menyuplai kebutuhan pangan Kerajaan Malaka. Pakaian adatnya seperti halnya pakaian adat suku Bugis dan Mandar masa kini, ya, memang rambut digelung dan memakai hiasan di kepala, sih.

Saya termenung, lagi – lagi hal seperti ini tidak tertulis di buku pelajaran sejarah saat saya sekolah dulu.

Bahwa saya mendapat informasi tersebut dari laman artikel yang mungkin tidak dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya di ranah ilmiah, ya saya mengakuinya, tapi tidak lantas kita juga mudah menafikan budaya lisan yang menggaung turun temurun di pojok-pojok Nusantara yang selama ini kurang terdengar kan?

Saat hari-hari ini terjadi kehebohan ketika terdapat puisi yang merepresentasikan akar budaya Indonesia lewat simbol konde dan rambut yang ditekuk, ya, saya ikut merenung. Benarkah budaya Indonesia sedemikian yang digambarkan? Saya memang bukanlah penikmat kata yang dapat memahami bahasa sastra tingkat tinggi. Apalah saya. Hanya saja, sangat disayangkan ketika sebuah karya sastra yang bagi saya seharusnya bisa memberikan sudut pandang dengan lebih adil dan menyeluruh tetap menyiratkan wacana Indonesia yang hanya terdiri dari sekelompok golongan, direpresentasikan melalui simbol-simbol tertentu dalam bait-baitnya.

Bagaimanapun, bagi saya karya sastra seharusnya bisa membawa wacana kritis yang turut membentuk tonggak – tonggak sejarah. Toh, glorifikasi Majapahit terjadi karena budaya literasi yang kuat pada zamannya kan? Kalau tidak ada Negarakertagama dan Sutasoma, bagaimana kita bisa mengenal Majapahit seperti yang kita kenal lewat buku-buku sejarah?

Perihal sang pembuat puisi yang sudah minta maaf jikalau karyanya menyinggung beberapa golongan, marilah kita maafkan, tetapi tidak lantas kita mudah melupakan bahwa kritis terhadap sebuah karya, peristiwa, fenomena, atau bahkan kebijakan pemerintah, itu perlu tetap dijaga agar tidak menimbulkan hegemoni sekelompok orang terhadap kelompok yang lain, dalam konteks apapun, bukan hanya persoalan budaya. Bosan. Sudah terlalu sering terjadi kasusnya. Apalagi ini terjadi di sebuah negeri bernama Indonesia yang ragam masyarakatnya sungguh bhineka.

Ibu Profesional Kebanggaan Keluarga

Ada sebersit pertanyaan mendasar ketika menonton materi video Ibu Profesional Kebanggaan Keluarga, adakah Ibu di dunia ini yang bisa dikatakan tidak profesional? Apakah seorang ibu ketika memiliki anak yang perilakunya di luar batas norma sosial yang berlaku lantas ia dapat disebut sebagai Ibu yang telah gagal mendidik anak tersebut? Atau, ketika biduk rumah tangganya harus berujung pada perpisahan yang dibolehkan secara syariat, lantas tidak profesionalkah ia? Pikiran ini membawa saya untuk teringat pada penggalan cerita tentang seorang Ibunda dari ustadz yang kini telah berpulang, ketika dahulu sang ustadz pernah memilliki alur hidup yang bisa dikatakan sangat jauh dari agama, namun kemudian sang ustadz bertaubat dan menjadi seorang penyeru kebaikan, apakah saat sang ustadz tidak berada di jalan kebaikan lantas Ibunda hebat tersebut dikatakan tidak profesional?

Ada suara kecil di hati ini yang berkata bahwa pekerjaan seorang Ibu amatlah kompleks dan kadangkala tidak bisa dinisbikan dari sebuah peristiwa atau serangkaian kejadian saja, prosesnya bisa jadi seumur hidup, dan kita semua tahu, setiap ibu pasti menginginkan jalan hidup yang terbaik bagi keluarganya.

Saya beranjak dari pemikiran yang hanya berputar di kepala itu dan kembali memakai kacamata IIP bahwa ciri Ibu profesional ada dua, yaitu bangga akan perannya sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak – anaknya, dan senantiasa memantaskan diri dengan berbagai ilmu, agar bisa bersungguh – sungguh mengelola keluarga dan mendidik anaknya dengan usaha terbaiknya. USAHA TERBAIKNYA. Dua kata yang saya garis bawahi dan maknai dalam – dalam. Mendapat “aha!” momen, diri ini kembali tergugah, tertampar. Yang dinilai adalah usaha terbaik. Usaha terbaik untuk senantiasa bertumbuh, berproses, hanya karena Allah semata.

Sehingga, ketika perenungan kedua adalah tentang membuat capaian dambaan indikator profesionalisme perempuan, dengan perannya sebagai individu, istri, maupun ibu, saya kembali menitikberatkan pada usaha terbaik. Usaha terbaik seperti apa yang ingin diberikan? Dan tentu saja usaha ini akan terus bertumbuh dan berubah seiring dengan perjalanan waktu.

Sebagai individu, ingin sekali rasanya jadi orang yang memiliki hubungan baik dengan Tuhan, juga hubungan baik dengan sesama. Dengan memiliki hubungan baik dengan Tuhan, insyaAllah hasil tidak akan pernah mengkhianati usaha. Target untuk saat ini, ingin sekali rasanya bisa sholat di awal waktu, dimulai dengan sholat subuh dan isya. Target lainnya, ingin sekali merutinkan dzikir pagi dan petang setiap hari. Tidak terlupa juga membaca dan memaknai Al-Quran, dimulai dengan 2 halaman setiap hari. Untuk memiliki hubungan yang baik dengan sesama, dimulai dengan peningkatan kualitas diri : berani menyetir mobil sendiri dalam 3 bulan ke depan, memiliki penghasilan tambahan dengan mengelola jualan online yang tengah dijalani setiap hari Rabu dan Jum’at, memenuhi hak me time setengah jam setiap hari, juga kembali  mempelajari bahan – bahan ujian profesi dimulai pada bulan September tahun ini. Semoga dengan demikian bisa menjaga hubungan baik dengan sesama dengan cara memposting konten positif di sosial media setiap pekan, juga mengunjungi mustahiq setiap bulan.

Sebagai istri, ingin sekali menjadi istri yang enak dipandang oleh suami dan menjadi penyejuk hati dalam setiap lelahnya, apalagi saat ini kami tengah menjalani LDM. Mungkin usaha tersebut bisa dimulai dengan merutinkan Japanesse skincare regime 2 kali seminggu, menyediakan menu makan spesial setiap bertemu, merevisi planning investasi keuangan jangka panjang keluarga dalam tiga bulan ke depan, merutinkan senam kegel 2 kali seminggu, selalu menyambut dengan penuh kehangatan ketika berkomunikasi dengannya, dan mengagendakan piknik setiap bulan.

Sebagai ibu, ingin sekali menjadi ibu yang mindfull ketika membersamai ananda setiap harinya juga senantiasa menimba ilmu parenting dari sumber – sumber yang valid. Dimulai dengan selalu membersamai anak tanpa memegang gadget , ketika anak makan, ketika bermain bersama anak, maupun ketika menyusui. Selalu membaca jurnal pediatri dari sumber yang valid (IDAI, NCBLI, dll) minimal sekali dalam tiga bulan, mengunduh dan menggunakan aplikasi child development untuk memantau tumbuh kembang anak, membaca minimal 1 bab buku  parenting setiap jangka waktu 3 bulan, dan telah memiliki activity plan dalam dua bulan ke depan.

Mudah – mudahan, capaian dambaan seperti ini bisa menjadi usaha terbaik dalam menjalani peran yang tengah diberikan Tuhan pada saya.

Tabik.

Nice Home Work

Sudah hampir sepekan kelas matrikulasi IIP Batch 4 dibuka, Sebelum bergabung dengan IIP, saya sudah terlebih dahulu mencari tau tentang Institut Ibu Profesional sebagai bagian dari ikhtiar mendalami ilmu parenting. Berbagai blog, review, ataupun artikel mengenai IIP telah membulatkan tekad saya untuk belajar dan bertumbuh bersama IIP. Berbagai materi dan obrolan di grup WhatsApp saya cermati satu persatu walaupun hingga saat ini saya belum begitu aktif berdiskusi. Alasannya : saya masih berusaha mencerna dan menyelaraskan pola pikir saya dengan berbagai ilmu yang sungguh membuka mata. Istilahnya wiring, atau meminjam istilah IIP, sedang berusaha mengosongkan gelas untuk lebih cepat menyerap hidayah ilmu.

Ada satu hal yang saya rasa paling menggambarkan kelas matrikulasi IIP (untuk saat ini), pertanyaan Nice Home Work membutuhkan perenungan – perenungan mendalam, yang sebetulnya pertanyaan – pertanyaan tersebut sering saya tanyakan pada diri sendiri akhir – akhir ini dan sampai sekarang, saya juga masih bingung dengan jawabannya. Tapi, hidup itu tentang memutuskan bukan? Choose, then decide ! Oke, dari hasil bertanya – tanya pada diri sendiri berulang kali, tentang “Mau ngapain sih kamu sekarang, Dhit?” ini adalah jawaban saya.

Pertanyaan tentang satu ilmu yang akan ditekuni di universitas kehidupan berikut alasan yang menyertainya, strategi yang digunakan untuk menuntut ilmu tersebut, dan perubahan sikap yang diperlukan untuk menuntut ilmu. Saya memilih untuk menerima ketetapan Allah S.W.T sehubungan dengan peran yang telah diamanahkan-Nya untuk diri saya.

Bagi saya, peran seorang ibu konteksnya bisa sangat luas dan dinamis. Ketika hari ini sedang diamanahi untuk mengasuh seorang bayi perempuan dan berkarya di dalam rumah, bisa jadi di masa yang akan datang Allah menugaskan peran yang lain kepada saya. Bisa jadi dalam dua, tiga tahun ke depan, ada hal – hal yang membuat saya kembali beraktivitas di luar rumah, menekuni dunia akademis kembali, atau bekerja di sebuah institusi, misalnya. Bisa jadi dalam dua tiga tahun ke depan, perannya adalah menjadi ibu dari dua orang anak dengan mengampu bisnis online, dan seterusnya. Kita tidak pernah tahu takdir Allah yang seperti apa yang akan diamanahkan oleh-Nya. Kita hanya bisa berusaha menjemput takdir-Nya. Oleh karena itu, saya rasa, sangat penting untuk selalu deal dengan peran yang tengah diberikan oleh-Nya, terlepas dari apapun perannya.

Menerima ketetapan Allah bukan berarti kita diam berpangku tangan dengan apapun kondisi yang tengah terjadi pada kita. Menerima ketetapan Allah berarti siap memaksimalkan segala potensi diri yang dimiliki ketika kita sedang diamanahi peran tertentu. Saat ini, saya sedang diamanahi seorang bayi perempuan dan berkarya di dalam rumah. Oleh karena itu, untuk saat ini, strategi yang memungkinkan agar saya bisa segera deal dengan amanah tersebut diantaranya :

  • Senantiasa bertafakur pada-Nya agar selalu mendapat bimbingan dan petunjuk-Nya.
  • Bersyukur, bersyukur, dan bersyukur.
  • Mencari ridha suami dengan melibatkannya dalam setiap proses bertumbuh.
  • Mengikuti kelas matrikulasi IIP Batch 4 hingga selesai.
  • Membaca blog inspiratif ibu – ibu muda minimal sekali dalam sepekan.
  • Membaca jurnal pediatri dari sumber yang valid (IDAI, NCBLI, dll) minimal sekali dalam tiga bulan.
  • Mengunduh dan menggunakan aplikasi child development untuk memantau tumbuh kembang anak.
  • Membaca minimal 1 bab buku parenting setiap jangka waktu 3 bulan.
  • Mengupdate ilmu lain di luar ilmu parenting setiap dua pekan, seperti : membaca artikel tentang bisnis online, membaca artikel Islami tentang cara menyenangkan suami, membaca artikel tentang cara mengatur keuangan keluarga dan berinvestasi, dll.
  • Sering – sering piknik (minimal sebulan sekali).
  • Jangan lupa bahagia 🙂

Semoga dalam menuntut ilmu, saya dapat mengubah kebiasaan – kebiasaan buruk yang telah begitu mendarah daging selama ini dengan sikap-sikap yang lebih postif. Mari :

  • Senantiasa berusaha membersihkan hati dengan cara mengingat Allah (dzikir).
  • Menyiapkan diri, bermuhasabah, menerima saran & kritik.
  • Melawan rasa malas dengan cara membuat target yang terukur dan jelas.
  • Melakukan yang telah diniatkan.
  • Lebih sering berbagi dengan sesama, karena letak kebahagiaan adalah saat kita dapat membagikannya.

 

Salam,

Adhiti Larasati

Peserta Matrikulasi Ibu Profesional Batch 4

SD Inpres Offie Namanya

Letaknya di atas bukit Papua, begitu masyarakatnya menyebutnya. Resminya ia terletak di distrik Teluk Patipi, Kabupaten Fakfak, Papua Barat. Dibangun tahun 1983, ia masih berdiri kokoh di antara batu – batu karang dan tanah subur di balik hutan, apalagi setelah mengalami renovasi pada tahun 2004, ia semakin mengukuhkan kehadirannya sebagai institusi pendidikan dasar di Offie, madrasah pertama bagi anak – anak untuk menimba ilmu.

Siswa – siswa SD Inpres Offie sebagian besar berasal dari kampung Offie, sebagian lainnya berasal dari kampung Tetar dan Tibatibananam yang berjarak ± 2 km dari kampung Offie. Jarak 2 km memanglah dekat, tapi medan yang berbukit – bukit dan berkelok – kelok aku rasa menjadi alasan yang cukup bagi anak – anak untuk tidak pergi bersekolah karena setiap harinya mereka pergi sekolah dengan berjalan kaki. Tapi anak – anak distrik Teluk Patipi memang berbeda. Ketika hujan tiba, mereka tetap pergi ke sekolah dengan menggunakan daun pisang yang tumbuh di sepanjang jalan sebagai pelindung kepala, pengganti payung. Hal ini membuatku kagum akan usaha mereka untuk pergi ke sekolah. Semangat belajar mereka memang terbilang tinggi. Ketika pulang sekolah, sekitar jam 14.00 siang mereka sudah datang ke rumahku “ Mama Ibu, mama Ibu, ayo belajar”. Ketika maghrib tiba, berduyun – duyun mereka datang ke rumahku lagi “ Mama Ibu mama Ibu, ayo belajar”. Bahkan ketika aku akan pergi ke kota untuk rapat koordinasi dengan sesama Pengajar Muda dan aku nyatakan belajar malam hari ini libur, beberapa dari mereka tetap datang ke rumah. “Mama Ibu belum pi kota toh, katong mau belajar”, dan ketika hal – hal itu terjadi, secapek apapun kondisiku saat itu aku tidak pernah tega untuk tidak mengiyakan permintaan mereka. Sedikit buku – buku bacaan yang kubawa dari Bandung pun tak pernah alpha mereka baca walaupun banyak dari mereka yang baru sekedar bisa membaca tanpa memahami isi teks bacaan tersebut.

Dulu, ketika aku pertama kali tiba di Offie, aku merasa prihatin karena mereka tidak punya cita – cita. Aku menyayangkan semangat mereka yang tinggi dalam belajar tidak dibarengi dengan suatu visi. Sekarang aku dapat tersenyum karena mereka telah memiliki tujuan dari usahanya pergi ke sekolah setiap hari. Masih terpatri dengan jelas saat aku mengawasi mereka ujian “Ayo kalo sudah besar nanti mau jadi apa?”. Tidak ada satupun jawaban keluar. “ Hmm..kalian bersekolah buat apa?” “……..” tetap tidak ada jawaban. Sekarang mereka dengan lantang berseru saat mengaji sore “Mama Ibu, mama Ibu sa mau jadi pilot” “Mama Ibu, kalau sa mau jadi suster” bahkan mereka sudah bisa berkelakar “Mama Ibu sa mau jadi preman kampung saja” “Heee?kenapa ko mau jadi preman Rijal?” jujur saya kaget mendengarnya. “Supaya bisa hisap rokok gratis” jawaban yang ini lebih membuat kaget.“Ko merokok kah? Hiii nanti kau punya paru – paru itu bolong kalau ko merokok” “Hahaha..tidak mama Ibu saya tipu – tipu (pura-pura) saja, sa mau jadi polisi” pernyataan terakhir Rijal ini membuatku lega dan ikut tertawa.

 

Sepuluh sampai lima belas tahun lagi, mudah – mudahan aku akan menyaksikan lahirnya guru – guru baru pengganti Ki Hajar Dewantara, pemain – pemain bola hebat pengganti Boaz, suster – suster semulia Florence Nightingale, dan polisi – polisi pelindung masyarakat dari SD Inpres Offie.

Percaya, Nggak?

Sebagai seorang yang terbiasa berpikir dengan logika, saya bukanlah tipe orang yang percaya dengan hal – hal mistis yang bersifat supranatural, walaupun saya juga adalah orang yang percaya memang ada kehidupan lain di luar batas penglihatan dan kemampuan manusia. Singkat saja, kehidupan di alam gaib.

Ya, saya percaya bahwa hal – hal gaib itu memang ada. Saya percaya Tuhan itu ada. Saya percaya malaikat itu ada. Saya juga percaya makhluk bernama jin itu ada, tapi saya bukanlah jenis orang yang percaya bahwa manusia dapat dicelakakan oleh sesama manusia ataupun makhluk lain yang bukan manusia dengan suatu cara yang tidak tampak dan di luar logika.

Tapi mungkin inilah saatnya saya meredefinisi cara berpikir saya yang lama dan mulai menggunakan otak kanan saya bekerja untuk merasionalisasikan hal – hal semacam ini. Yang jelas saya sangat percaya bahwa kekuatan Tuhan yang Maha Esa melebihi segala sesuatu dan hanya kepada-Nyalah manusia dapat memohon pertolongan.

Sudah dua minggu ini lutut kiri saya sakit jika dipakai berjalan. Paling sakit jika saya bangkit berdiri dari duduk. Saya pikir ini hanyalah penyakit lama, encok karena kecapekan. Voltaren saya oleskan pada lutut sambil saya urut – urut. Tak terlupa safecare dan minyak telon juga saya oleskan. Tapi sakit ini tak kunjung hilang. Ah, saya pikir cedera lutut ringan biasa karena setiap hari mendaki tanjakan dan menaiki anak tangga tapi saya salah sikap waktu berjalan. Seminggu ini saya halangan, sakitnya bertambah dan membuat saya berjalan agak tertatih. Saya masih pikir mungkin saya pegal – pegal karena halangan. Sampai akhirnya sepulang mengaji dari Mama Kei, beliau keheranan melihat saya kesakitan saat berdiri.

“Mama Ibu, kau pu kaki kenapa?”
“Tara apa – apa mamak, sakit biasa saja, tapi su dua minggu ini tara sembuh – sembuh”
“Mungkin ada kotoran, coba pi panggil Tete Mus untuk angkat kotoran”
“Maksudnya mamak?”
“Disini itu biasa begini sudah, dulu sa juga pernah sakit di mata kaki baru sa pi angkat kotoran dengan Tete Mus dorang. Sa dapat kaleng susu sepenggal. Sakit kaki Mama ini sampai bengkak bokar tara bisa berjalan.  Kalau barang itu su diangkat baru sembuh”
“Hmmm..begitu ya?memang cara angkatnya bagaimana Mamak?”
“Biar panggil Tete Mus lai baru dong hisap kau pu tempat sakit dengan bawang, nanti barangnya keluar”
“Oooooh..” saya masih berpikir mungkin saja barnag itu sudah ada di mulutnya Tete Mus.
“Dari mulut kosong keluar barang Mamak?”
“Iyoooo”

Seperti masih mengerti ketidakpercayaan saya, Mama Kei menjelaskan panjang lebar.
“Bukan katong tara percaya dokter – dokter tapi disini itu begini sudah. Kalau su diobat tara sembuh, berarti ada penyakit lain. Jadi pi angkat penyakit dengan cara adat. Mungkin kemarin Mama Ibu pi berjalan ke tempat pamalikah, sore – sore hujan gerimis Mama Ibu jalankah, bisa juga ada orang usaha – usaha Mama Ibu jadi dong taruh barang di Mama Ibu pu tempat. Makanya Mama Ibu kalau bacuci pakaian itu jangan dikasih kering di luar. Bawa masuk saja ke dalam. Lai kalau bersisir hati – hati Mama Ibu pu rambut”.
“Waaaa…memang disini ada yang seperti itu ya Mamak?”
“Namanya kita di kampung – kampung itu pasti ada toh, apalai di Timar sana tara beres orang – orang pu mantra. Patipi pasir, Rumbati, Salakiti, itu lai tara beres. Kitorang di kampung ini masih baik, moyang – moyang yang jaga kitorang. Mama Ibu sa kasih tau bukan tipu – tipu. Supaya saya jaga Mama Ibu sampai setaun kembali lai ke Jawa. Mama Ibu itu su seperti kitong punya anak perempuan yang tua”
“Waaaa..makasih mamak”

Saya terdiam. Saya terharu dengan perlindungan yang diberikan oleh keluarga Mama Kei selama ini.

“Tapi siapa pula yang mau taruh itu barang pada saya?”
“Kitong ini tara tau toh manusia punya hati? Mama Ibu ini baru boleh bisa saja orang usaha – usaha Mama Ibu toh? Baru lai Mama Ibu pi berjalan malam hari kasih les anak – anak, mungkin saja malam itu Mama Ibu baku tabrak dengan makhluk – makhluk pu tempat. Biar nanti Isman dorang yang pi panggil Tete. Mama Ibu besok hari kembali biar sa siapkan bawang”

Entah kenapa, saya akhirnya memutuskan untuk menuruti perkataan Mama Kei. Selama mama piara pergi, keluarganyalah yang menjaga saya dna memberi saya makan. Saya sudah menganggap keluarga Mama Kei seperti keluarga sendiri.

Hari ini Isman pergi panggil Tete Mus ke rumahnya. Sebelum pengangkatan kotoran dilakukan, saya mengecek bawang untuk memastikan tidak ada barang apapun di dalamnya. Anehnya, saat irisan bawang ditempelkan ke lutut saya dan dihisap Tete Mus, bawang yang tadinya bersih bercampur dengan pecahan benda plastik berwarna pink terang dan sedikit darah, besarnya seruas jari kelingking. Lalu, lukakah lutut saya? Tidak, lutut saya tidak mengalami luka apa – apa. Reaksi pertama saya adalah tertawa heran. Aneh sekali, dari ketiadaan muncul muncul pecahan barang berwarna pink, warna kesukaan saya. Tadinya, saya mau memotret barang itu. Tapi jangankan memotret, memegang saja saya dilarang. “Jangan kasih pegang Mama Ibu, pamali, nanti bisa kembali” lalu Pak Kadir (suami Mama Kei) segera membuang barang itu ke laut bersama sampah bawang. Sakit lututnya? Belum sembuh benar, tapi jauh berkurang. Percaya, nggak? 🙂

“Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh. Dari kejahatan makhluk-Nya. Dan dari kejahatan malam apabila telah gelap, dan dari kejahatan tukang-tukang sihir yang meniup pada ikatan, dan dari kejahatan pendengki apabila ia dengki. Aku berlindung kepada Tuhan yang memelihara manusia, yang menguasai manusia. Tuhan bagi manusia, dari kejahatan bisikan setan yang tersembunyi. Yang membisikkan dalam dada manusia, dari golongan jin dan manusia”.

Offie, 29 Juli 2011