Hari – hari ini saya semakin yakin bahwa pemikiran kritis itu harus tetap dijaga sehingga kita tidak mudah terjebak untuk menghakimi atau mengamini hal – hal yang tertulis pada berbagai media, termasuk buku – buku sejarah.
Berbagai peristiwa, baik masa kini maupun masa lampau, tentu tidak dapat dilihat dari satu sudut pandang saja. Mulai dari peristiwa 98, 78, 65, bahkan kemerdekaan Indonesia itu sendiri hingga jauh ditarik ke belakang sampai negeri bernama Indonesia belum terbentuk.
Agaknya, pernyataan yang pernah dikemukakan Churcill ternyata benar. Sejarah memang ditulis oleh para pemenang.
Wacana yang kita kenal saat ini adalah wacana yang dikonstruksikan dari sudut pandang para pemenang.
Diberi kesempatan berkelana untuk menjelajah Indonesia, membuat diri ini semakin sadar bahwa banyak sekali kisah-kisah yang tidak tertulis dalam buku pelajaran sejarah.
Agaknya sejarah Indonesia terlalu dibentuk atas glorifikasi Jawa dan kisah-kisah hegemoni Majapahit, padahal Indonesia jelas bukan cuma Jawa. Pemahaman saya mengenai budaya Indonesia pun menjadi bias. Apa sebetulnya yang dimaksud dengan budaya Indonesia? Apakah budaya Indonesia dapat direpresentasikan hanya dari gambaran para perempuan yang memakai kemben dan rambut digelung?
Ketika tinggal di Fakfak, Papua Barat 7 tahun silam, diri ini sempat dibungkam oleh pertanyaan sederhana seorang anak murid ketika pelajaran IPS sedang berlangsung “…baru Ibu, kerajaan Tarumanegara, Majapahit, itu kerajaan di Jawa kah? Sriwijaya di Sumatera? kalau kerajaan di Papua kenapa tidak ada di buku?”.
Kebetulan, saat itu saya tinggal dengan kepala desa yang sekaligus pemangku adat. Bapak Patiran yang saya hormati, yang seorang kapitan itu, bertutur bahwa pada masanya, di Papua Barat pernah ada 9 kerajaan yang terbentang dari Raja Ampat hingga Kaimana. Sembilan kerajaan ini mendapat pengaruh kuat dari Kerajaan Tidore sehingga corak agama yang terdapat di pesisir Papua Barat adalah Islam hingga saat ini, bersamaan dengan Kristen dan Katolik yang lebih banyak mewarnai daerah pegunungan.
Bagaimana cara berbusana masyarakatnya, dalam hal ini para wanitanya? Saat hari jadi kota Fakfak, saya sempat mendokumentasikannya.
Jelas ya, blus dengan bawahan kain yang menutupi lutut, ditambah ornamen khas yang terdiri dari bulu cenderawasih dan noken (tas dari akar tanaman) yang disampirkan di kepala.
Bergeser ke Sulawesi, kemarin saya berkesempatan menghadiri pernikahan seorang teman di Pare-pare. Pengantin wanitanya yang saya tebak merupakan keturunan bangsa Semit mengenakan busana adat yang mengingatkan saya dengan pakaian Koto Gadang dari Sumatera Barat.
Setelah berpamitan dari acara pernikahan, di perjalanan pulang saya terkagum-kagum dengan pemandangan alam berupa perbukitan karst yang membentang sepanjang Pangkajene Kepulauan (Pangkep), lebih terkejut lagi saat melewati pusat kotanya. Kota kecil ini menujukkan geliat ekonomi yang cukup signifikan, membuat saya berpikir akan asal muasal daerah ini, selain berpikir bahwa keberadaan Semen Tonasa-lah yang mungkin paling signifikan memberikan kontribusi bagi perekonomian daerah.
Berseluncur di dunia maya, terdapat berbagai artikel yang menyatakan bahwa dahulu kala, pernah terdapat kerajaan besar bernama Kerajaan Siang yang kejayaan dan kekuatannya melebihi kerajaan Gowa-Tallo. Sumber daya dan kekayaan alamnya membuat penguasanya yakin hingga menawarkan untuk menyuplai kebutuhan pangan Kerajaan Malaka. Pakaian adatnya seperti halnya pakaian adat suku Bugis dan Mandar masa kini, ya, memang rambut digelung dan memakai hiasan di kepala, sih.
Saya termenung, lagi – lagi hal seperti ini tidak tertulis di buku pelajaran sejarah saat saya sekolah dulu.
Bahwa saya mendapat informasi tersebut dari laman artikel yang mungkin tidak dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya di ranah ilmiah, ya saya mengakuinya, tapi tidak lantas kita juga mudah menafikan budaya lisan yang menggaung turun temurun di pojok-pojok Nusantara yang selama ini kurang terdengar kan?
Saat hari-hari ini terjadi kehebohan ketika terdapat puisi yang merepresentasikan akar budaya Indonesia lewat simbol konde dan rambut yang ditekuk, ya, saya ikut merenung. Benarkah budaya Indonesia sedemikian yang digambarkan? Saya memang bukanlah penikmat kata yang dapat memahami bahasa sastra tingkat tinggi. Apalah saya. Hanya saja, sangat disayangkan ketika sebuah karya sastra yang bagi saya seharusnya bisa memberikan sudut pandang dengan lebih adil dan menyeluruh tetap menyiratkan wacana Indonesia yang hanya terdiri dari sekelompok golongan, direpresentasikan melalui simbol-simbol tertentu dalam bait-baitnya.
Bagaimanapun, bagi saya karya sastra seharusnya bisa membawa wacana kritis yang turut membentuk tonggak – tonggak sejarah. Toh, glorifikasi Majapahit terjadi karena budaya literasi yang kuat pada zamannya kan? Kalau tidak ada Negarakertagama dan Sutasoma, bagaimana kita bisa mengenal Majapahit seperti yang kita kenal lewat buku-buku sejarah?
Perihal sang pembuat puisi yang sudah minta maaf jikalau karyanya menyinggung beberapa golongan, marilah kita maafkan, tetapi tidak lantas kita mudah melupakan bahwa kritis terhadap sebuah karya, peristiwa, fenomena, atau bahkan kebijakan pemerintah, itu perlu tetap dijaga agar tidak menimbulkan hegemoni sekelompok orang terhadap kelompok yang lain, dalam konteks apapun, bukan hanya persoalan budaya. Bosan. Sudah terlalu sering terjadi kasusnya. Apalagi ini terjadi di sebuah negeri bernama Indonesia yang ragam masyarakatnya sungguh bhineka.